Fantasi, novel

Novel : Dunia Sampah (Bab 17)

《Sebelumnya

17. Bahaya

Setelah ketiga temannya pulang, Niko kembali duduk di sofa bersama ibunya.

“Gimana tadi kerja kelompoknya? Menyenangkan?” tanya Bu Vina.

“Ya, mereka sedikit lebih baik daripada teman-teman kelompok sebelumnya.” kata Niko.

Bu Vina tersenyum. “Begitu, ya?”

Niko mengangguk.

“Seandainya aja, mereka jadi teman kelompok kamu sejak dulu, mungkin nilai tugas kamu lebih bagus, ya.” ujar Bu Vina.

“Nggak mungkinlah, Bu. Dulu itu kan Niko nggak sekelas sama mereka.”

“Iya.., Ibu kan cuma bilang seandainya. Habisnya, teman-teman kamu dulu itu nggak ada yang baik sama kamu.”

Niko tersenyum, tapi matanya nampak berkaca-kaca.

“Udahlah, Bu. Jangan bahas soal itu lagi!”

“Ya udah. Sekarang, kamu mandi sana!” perintah Bu Vina.

Niko beranjak dari sofa dan segera menuju kamarnya untuk mengambil handuk, sebelum kemudian mandi.

Keesokan harinya, setelah sarapan, Niko sudah menyibukkan diri di halaman belakang rumahnya. Di hari Minggu yang cerah itu, dia nampak begitu serius mengikat sesuatu pada cabang pohon jambu miliknya.

“Kamu lagi apa?” tanya seseorang dari balik punggung Niko.

Mendengar suara lembut itu, Niko sempat terlonjak kaget. Dia pun menoleh dan mendapati seorang gadis cantik tengah tersenyum padanya. Gadis cantik itu tak lain adalah Lala.

“Kamu.. ada perlu apa ke sini?” tanya Niko sedikit gugup.

“Aku cuma mau main aja.” kata Lala. “Ngomong-ngomong, kamu lagi ngapain sih?”

“Oh.., ini. Aku lagi bikin cangkokan.” Niko melanjutkan kembali pekerjaannya.

“Udah cukup lama aku nggak lihat orang buat cangkokan.” Lala tersenyum seraya mendekat ke samping Niko. Dia memperhatikan dengan serius proses mencangkok yang sedang dikerjakan Niko.

Diperhatikan Lala seperti itu membuat Niko salah tingkah. Dia pun mempercepat gerakannya mengikat cangkokan itu. Hingga tak lama kemudian, cangkokan itu berhasil dia selesaikan.

“Kamu ternyata hebat juga, ya.” puji Lala.

Niko hanya tersenyum tipis. Pasalnya, tujuan dia mempercepat gerakannya tadi itu supaya Lala tidak memperhatikannya lama-lama. Bukan untuk pamer kebolehan. Pujian dari Lala membuatnya makin salah tingkah.

“Kamu tunggu di depan, ya. Aku mau cuci tangan dulu.” kata Niko sambil membereskan peralatan mencangkok yang tergeletak di tanah. Kemudian, dia melangkah menuju pintu belakang rumahnya.

Lala berjalan melewati samping rumah Niko untuk ke ruang depan. Dan sesampainya di ruang depan, nampak Bu Vina sudah duduk di sofa. Terlihat juga sepiring kue bolu, sekaleng biskuit, dan tiga gelas air teh di atas meja.

“Niko udah selesai?” tanya Bu Vina pada Lala.

“Udah, Bu. Sekarang, dia lagi cuci tangan di belakang.” kata Lala.

“Silakan duduk, La.”

“Iya, Bu. Makasih.” ucap Lala seraya duduk di sofa berhadapan Bu Vina.

“Kalau hari libur, Niko ya.. begitu. Pagi-pagi, dia udah sibuk di halaman belakang, ngurusin tanamannya. Apalagi seminggu ini dia jarang ngurusin tanamannya karena sibuk bantuin Tori.”

“Niko itu memang suka berkebun ya, Bu?”

“Begitulah. Sejak masuk SMP, entah kenapa dia mulai suka menanam pohon dan bunga. Tapi Ibu senang sih, karena dia rajin merawat tanamannya, suasana rumah jadi terasa lebih nyaman.” cerita Bu Vina.

Diam-diam, Lala merasa kagum pada sifat Niko itu.

“Oh iya, Ibu sampai lupa. Makan kuenya, La!” ucap Bu Vina saat melihat makanan di meja masih utuh sama sekali.

“Iya, Bu.” Lala segera mengambil sepotong kue bolu dari piring dan menyantapnya.

Tak lama, Niko muncul dari ruang tengah. Dia lantas duduk di sebelah kanan ibunya.

“Kamu serius, datang ke sini cuma mau main aja?” tanya Niko.

“Sebenarnya.., aku khawatir.” kata Lala.

“Khawatir?!” Niko nampak bingung.

“Tentang masalah kamu sama Angga kemarin.”

“Memangnya kamu ada masalah apa sama Angga, Ko?” tanya Bu Vina.

“Ng.. nggak ada kok, Bu.” sangkal Niko.

“Biar aku ceritain aja, ya.” ujar Lala pada Niko.

Selama beberapa saat, Niko merasa ragu. Tapi, sekalipun dia melarang Lala untuk menceritakan masalahnya dengan Angga kemarin, ibunya pasti akan mendesaknya untuk berkata jujur. Jadi, tidak akan ada gunanya dia melarang Lala.

“Ya udah…” ucap Niko pasrah.

Lala pun menceritakan bagaimana awal mula masalah Niko dengan Angga. Juga keusilan Angga terhadap Niko yang sudah cukup keterlaluan. Hingga gagalnya rencana dia untuk berpura-pura menjadi pacar sementara Angga. Dan terakhir, tentu saja soal ancaman Angga dan kawan-kawannya yang ingin mengeroyok Niko. Mendengar hal itu, Bu Vina hanya menarik nafas dalam-dalam untuk menahan rasa marahnya.

“Ibu nggak nyangka kalau di kelas kalian ada anak yang seperti itu.” kata Bu Vina. “Kalau sudah keterlaluan begitu, harusnya kamu cerita sama Ibu, Ko. Jangan diam aja!”

“Maaf, Bu.” sesal Niko.

“Ibu masih bisa maklum kalau teman-teman kamu nggak mau berteman sama kamu. Tapi kalau dia udah mengancam kamu, apalagi sampai ada kekerasan fisik, itu nggak boleh dibiarin. Kamu harus lapor sama guru kamu.”

“Tapi, Bu. Setiap Niko lapor, guru-guru menganggap itu cuma bercandaan aja. Mereka nggak percaya sama Niko.”

“Kalau begitu, besok aku temenin kamu lapor ke Pak Herman. Mungkin kalau kita berdua yang lapor, Pak Herman akan percaya.” kata Lala.

“Aku nggak mau.” tolak Niko.

“Lala benar, Ko. Mungkin kalau cuma kamu sendiri, nggak cukup untuk meyakinkan guru kamu. Tapi kalau Lala juga ikut melapor, kemungkinan besar guru kamu akan percaya.” kata Bu Vina meyakinkan Niko.

“Tapi Niko nggak mau lapor ke guru lagi, Bu. Percuma.” kata Niko.

“Ya udah. Kalau kamu nggak mau, biar aku sendiri aja yang lapor.” kata Lala lembut.

Niko merasa bimbang. Dia sangat ingin menolak ide Lala. Tapi jika dia menolaknya, Lala pasti akan sedih.

“Makasih banyak ya, La.” ucap Bu Vina sebelum Niko sempat berkata.

“Sama-sama, Bu.” ucap Lala.

“Eh, tapi, apa Ibu nggak salah dengar? Kamu nggak dibolehin pacaran sama mama kamu?” tanya Bu Vina mengganti topik pembicaraan.

“Iya, Bu. Mama nggak mau fokus belajar saya terganggu karena pacaran.”

“Benar juga sih. Biar bagaimanapun, pelajaran dan sekolah itu tetap yang terpenting buat remaja seperti kalian.”

“Ya udah. Kalau begitu, saya pamit pulang ya, Bu. Makasih juga atas jamuannya.”

Lala bangkit dari sofa dan bersalaman dengan Bu Vina.

“Iya, hati-hati di jalan.” ucap Bu Vina.

“Sekali lagi, makasih ya.” kata Niko.

Lala hanya membalas dengan senyum.

Lala berjalan keluar rumah Niko. Sementara Niko nampak terpaku memandang Lala yang terus melangkah menjauh.

“Sayang banget, ya. Ternyata Lala nggak dibolehin pacaran sama mamanya. Padahal, Ibu pingin banget dia jadi pacar kamu, lho.” ujar Bu Vina menggoda Niko.

Menanggapi ucapan ibunya, Niko hanya tersenyum tipis. Memang, dia juga berharap sama dengan ibunya. Namun larangan orang tua Lala sudah tentu demi kebaikan sang putri. Lagipula, Lala juga tampak nyaman dengan statusnya. Jadi, Niko tidak perlu terlalu berharap Lala akan jadi pacarnya. Setidaknya, hingga lulus sekolah nanti.

Hari Senin pagi, setelah upacara, pelajaran berlangsung seperti biasa. Akan tetapi, kepindahan Lala untuk duduk di samping Niko cukup menjadi atensi bapak guru yang mengajar saat itu. Pasalnya, Lala yang biasa duduk di depan, kini malah duduk di kursi paling belakang.

“Kenapa kamu pindah tempat duduk ke belakang, Lala?” tanya sang guru.

“Saya kurang nyaman duduk di dekat jendela, Pak.” jawab Lala sedikit berbohong. Tapi, tidak sepenuhnya bohong juga sih. Untuk gadis populer seperti dia, duduk dekat jendela bukanlah pilihan yang tepat. Itu lantaran banyak cowok yang sering melewati kelasnya hanya untuk cari perhatian alias caper dengan menggodanya dari luar jendela.

“Baiklah. Kalau kamu memang lebih nyaman duduk di situ, silakan saja. Tapi kamu harus tetap perhatikan pelajaran, ya.” kata guru itu lagi.

“Iya, Pak.”

Pelajaran kembali dilanjutkan. Dan selama pelajaran berlangsung, Niko terlihat beberapa kali tersenyum senang karena Lala kerap membantunya dalam memahami materi yang diajarkan. Hal itu berbanding terbalik dengan sikap sebagian murid kelas itu yang nampak jengkel. Terlebih dengan Angga, dari raut wajahnya saja sudah terbaca jelas betapa dongkolnya dia saat itu.

“Gue udah muak banget sama dia.” kata Angga.

“Gue juga muak.” timpal Rama. “Tapi menurut lo aneh nggak, sih? Waktu kita ngejar dia ke halaman belakang, kita nggak ketemu sama dia. Padahal lo berdua juga lihat dia lari ke sana, kan?”

“Itu yang bikin gue bingung. Nggak mungkin juga dia kabur dengan loncat pagar sekolah kita yang tinggi itu, kan?” ujar Randi.

“Udahlah. Itu nggak perlu lo pikirin. Yang penting, hari ini rencana kita harus berhasil. Jangan sampai dia kabur lagi!” kata Angga.

Saat jam istirahat, Niko menikmati bekalnya di halaman belakang seperti biasa. Hanya saja, kali ini dia ditemani Lala yang juga membawa bekal sendiri. Tentu saja, pengalaman itu sungguh menyenangkan untuk Niko.

“Aku sengaja bawa bekal dari rumah supaya bisa temenin kamu makan di sini. Jadi, kalau Angga datang gangguin kamu, aku bisa langsung lapor ke Pak Herman.” kata Lala.

Niko hanya mengangguk-angguk. Dia senang mendengar kalimat pertama dari Lala. Tapi kalimat lanjutan dari gadis cantik itu membuat dia sedikit kecewa. Rupanya, Lala hanya ingin melindunginya dari Angga. Lagi.

Meski begitu, apa yang dikhawatirkan Lala nyatanya tidak terjadi. Angga dan kawan-kawannya sama sekali tidak muncul di depan mereka hingga waktu istirahat berakhir.

Momen yang mengkhawatirkan justru datang menjelang pelajaran hari itu berakhir. Bu Desi meminta Lala untuk menemuinya saat pulang nanti. Padahal, Lala berniat untuk segera melapor pada Pak Herman tentang ancaman Angga dan kawan-kawannya terhadap Niko.

“Niko, nanti kamu ikut aku ke ruang Bu Desi dulu, ya.” pinta Lala. “Setelah itu, baru aku lapor ke Pak Herman soal ancaman Angga ke kamu.”

“Aku minta maaf ya.” ucap Niko terdengar agak sedih.

“Kenapa minta maaf?”

“Karena aku payah, kamu jadi harus repot bantuin aku.”

“Udahlah, Niko. Jangan bahas soal itu!”

Bel berbunyi menandakan tiba saatnya untuk pulang. Semua murid kelas itu segera beranjak dari tempat duduk mereka menuju keluar kelas. Lala yang berjalan bersama Niko, tiba-tiba saja diadang Angga cs tepat di depan pintu kelas. Dan Angga langsung merangkul Niko layaknya seorang teman. Tapi tentu saja rangkulannya itu cukup kuat untuk menahan Niko bergerak.

“La, aku pinjam teman sebangku kamu ini sebentar ya.” Angga menyeringai.

“Tapi aku sama Niko harus ke ruang Bu Desi sekarang.” kata Lala.

“Yang diminta ke ruang Bu Desi kan cuma kamu sendiri. Niko nggak.” bantah Rama.

“Tenang aja, La.” kata Randi. “Kita bertiga nggak akan terlalu keras sama Niko.”

“Udah sana! Bu Desi nungguin kamu, lho.” ujar Angga.

Lala pun terpaksa pergi meninggalkan Niko. Dengan berlari, dia berharap agar secepatnya sampai di ruang Bu Desi. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau dia menemui Pak Herman, sang wali kelas, terlebih dulu? Pasalnya, Niko benar-benar dalam bahaya. Angga, Rama, dan Randi harus segera dihentikan sebelum mereka membuat Niko jadi bulan-bulanan.

Selanjutnya》
Bab Selengkapnya》》